Kamis, Februari 25, 2021

Mahasiswa Beban Keluarga Keluar Goa


Hello everyone!

Apakabs? How’s life? Masih jadi beban keluarga? *Upss.


Tenang. Jangan sinis dulu. Selama hidup di planet yang sama, kelihatannya kita semua terlahir menjadi beban keluarga. Hehehee. Habisnya sih, kita adalah satu-satunya makhluk yang membayar pajak untuk tinggal di bumi. Ya, kan? Eh! 


Well, Semakin bertambah usia, semakin kita sadar akan hal-hal yang terjadi di sekitar kita bukan? Termasuk menyadari bahwa hidup sebagai seorang mahasiswa ternyata tidak seindah di film-film. Boro-boro kuliah bisa berteman dengan serigala atau jatuh cinta sama vampire kaya di Twilight (atau Ganteng-Ganteng Serigala deh), eh kita udah dibikin pusing sama tugas-tugas di kampus. Kesian temen gue, niat kuliah untuk dapet cewek, eh malah dapetnya tugas. Haha.

Sebagai Maha-nya siswa, ada lebih banyak tugas, project, dan hal-hal maha remeh lainnya yang mesti dilakuin. Hem.. “Demi mempersiapkan masa depan,” katanya – gak tau deh kata siapa. Tapi yang pasti, semasa kuliah ini gue tenggelam di banyak aktivitas baik di dalam kampus, maupun di luar kampus. Mencoba terjun membangun organisasi dan menjalankan program kerja yang menguras waktu, tenaga, dan dompet. Ya, dompet. Kalo dompet tebel pun karena isinya bill/nota belanjaan untuk keperluan kegiatan / acara - yang kalo hilang, bikin panik setengah mati. Ahshitmen. 


All right, Paham kok semua hal yang disebutkan di atas adalah alasan klise khas mahasiswa. Padahal, dunia baru aja dimulai saat setelah kita melepas toga. kemudian setelah bangun tidur esok harinya, lalu pilihannya sederhana, antara menjadi seorang pengangguran atau budak korporat. Keduanya tentu tidak mudah untuk dijalani.


Nah sebelum semakin rumit untuk membicarakan masa depan yang belum tentu segitu jeleknya (Aamiin). Sekarang nih gue sedang punya banyak waktu karena saat ini adalah libur kuliah pergantian semester dan urusan lainnya yaa.. under control-lah. Lalu kemarin gue iseng-iseng untuk ngebaca-baca tulisan di blog ini. Duh kangennya gue melihat tulisan lama di mana tersimpan memori indah kegaduhan gue di masa lalu. Emang, gue sengaja gak pernah hapus postingan jaman purba di Blog ini. Perlu diakui bahwa kacau parah dari penggunaan bahasanya, penulisan, ejaan, dan lain-lain. Tapi Kekacauan itu sengaja diabadikan agar gue bisa melihat progress yang telah dilalui untuk bisa menulis lebih baik lagi. 


So, Welcome 2021. 

Oya, Sebenarnya ada banyak hal yang ingin gue ceritakan. Seperti deskripsi Blog ini: Menuang Hidup Lewat Tulisan. But, I’ve been trying to adapt dengan membuat konten di social media. I did. So, check it out on Instagram @agung.mard and… Hopefully this blog will strive!


Selasa, Juni 25, 2019

Inilah Tahunnya Pikiran dan Perasaan

Gue kadang punya sebutan untuk suatu hal. Misalnya untuk tahun 2017 ini yang gue sebut sebagai tahun santuy. Tahun Santuy adalah tahun dimana gue harus bebas mengekspresikan diri.

Bagian diatas adalah kutipan artikel berjudul Cita-cita Agung Mardiyanto. Disana gue menceritakan bagaimana gue membentuk 2017 menjadi tahun yang santuy. Ok, itu tahun lalu, sekarang gue mau cerita nih bagaimana gue menargetkan 2018 menjadi “tahun bahasa”.

Tahun 2018 gue labeli “tahun bahasa”. Harapannya adalah kemampuan berbahasa gue akan meningkat, khususnya bahasa Inggris. Maka mulai lah gue mengatur strategi. Sampai saatnya tiba dalam masa pencarian dan kepo sana-sini mencari info pendaftaran kelas bahasa Inggris.
Pertama, gue mendaftarkan diri ke komunitas bahasa: Depok lingua. Gak tanggung-tanggung gue langsung mendaftar di dua kelas, yaitu kelas english writing dan speaking.
Di pagi hari yang cerah berlatarkan sebuah danau yang luas, gue bergabung dengan para pendaftar Depok Lingua. Mereka datang dengan berbagai tujuan dan alasan.

Angin berhembus pelan mengusap wajah, Gue mulai menyapa orang terdekat.
“mau belajar bahasa prancis. Suka aja,” katanya.

Mulai bergeser, seseorang memperkenalkan diri. Lalu gue menceritakan singkat tentang Depok Lingua dan pengalaman gue yang sebelumnya pernah mengikuti kelas di komunitas ini.

Dulu gue pernah ikut kelas Bahasa Turki selama 6 bulan di Depok Lingua. Kemudian lulus mendapat grade A.
yaa.. sombong dikit lah *kipasan pake sertifikat.

Dengan diiringi kicau burung di atap gedung Art and Culture UI, pagi ini gue akan menjalani serangkaian placement test. Placement test adalah tes penempatan kelas sesuai kemampuan. Gue sangat percaya diri. Dengan berbekal keyakinan dan aplikasi google translate yang semalam baru diinstall. Gue yakin rangkaian test ini bakal gampang dikerjain.

Placement test pertama adalah kelas english speaking. Dari awal pertemuan bersama Ka Dini, gue langsung diajak ngobrol berbahasa Inggris. Tes ini dimulai sejak Ka Dini meminta opini gue tentang beberapa tema yang ia sodorkan begitu saja di ponselnya.

Gue memilih tema tentang pendidikan di Indonesia. Tau lah kenapa? Yap, karena bagi gue tema pendidikan selalu menarik untuk dibahas dan dikritisi.

Gue mulai show off. Percaya diri (PD) aja untuk menjelaskan keadaan pendidikan di Indonesia saat ini. Gue menjelaskannya dengan membungkus pengalaman pribadi yang pait-pait juga sih. Muehehee.

Begitu asik mengomentari keadaan pendidikan Indonesia ngebuat lama kelamaan kosakata di kepala habis. Gue ngomong sambil nginget dan menerawang beberapa kata dan mencari topik.

Gue melanjutkan opini. Masih dengan patah-patah dan kata “eee....” yang berkali-kali terucap.
Dari raut wajahnya, sepertinya Ka Dini mulai menangkap gelagat gue.

“NAHLOH, lulus nggak ya?!” batin gue dalam hati.

Burung-burung yang tadinya berkicau, sekarang udah nggak ada. Angin yang tadi berhembus pelan udah kalah sama terik mentari yang sekarang justru menusuk tulang sampai ke DNA.

“LULUS GAK YAKK?” Hati gue mulai menjerit gaduh.

Ka Dini yang sedari tadi nyimak, mulai terlihat iba melihat orang di hadapannya panik bak seorang anak kampus terciduk maling ayam. Maka jadilah ayam kampus. *lahkok?

Well, setelah beberapa menit berlangsung akhirnya selesai juga obrolan ngalor ngidul spiking english ini.

Ka Dini pun menghela nafas.
Garis di dahinya yang selama ini semakin mengerut ketika mendengarkan gue berbicara, sekarang sudah kembali normal.

Gue lega..


Ka Dini lebih lega.

***

Placement test ternyata tidak sesuai harapan. Bukannya berjalan mulus justru malah memalukan. Sekarang gue jadi pengen uninstall googletranlate di HP. Sia-sia juga, gak dipake. Rugi kuota data internet. Damn.

Tidak lama setelah gue nge-lap muka, acara selanjutnya adalah mengikuti placement test kelas english writing. Gue disodorkan kertas A4 dua lembar. Disitu gue harus menuliskan jawaban atas pertanyaan yang sudah disediakan. Ah! Padahal gue lebih seneng menggambar.

Gue berasa sedang ujian beneran. Ini-TOEFL-versi-essay-BANGET. Beruntung kali ini agak leluasa. Sebab gue nggak sendirian. Disini ada banyak pendaftar yang juga sedang menulis jawabannya di kertas masing-masing.

Kejadian barusan saat speaking bersama Ka Dini mengingatkan gue tentang satu hal. Bahwa gue nggak boleh nyontek. Percuma juga gak bisa buka googletranslate!

Alhasil di tahap ini gue mulai meningkatkan kembali rasa percaya diri yang sempat hilang karena azab mengomentari pendidikan Indonesia tadi.

Diatas selembar kertas ini gue mulai menjawab soal. Coba menghirup udara segar lalu dihembuskan perlahan. Diulang-ulang sampai orang disekitar ngeliatin gue. Etdah cuma hirup udara aja pada ngeliatin. Emang sebegitu anehnya gue hahh.

Ketika jantung berdetak kembali normal.. Eits! mendadak gue merasakan sesak di dada saat tiba di pertanyaan terakhir. Di pertanyaan terakhir, gue diminta menuliskan tentang pengalaman diri dan (pilih):
  • Cinta
  • Pekerjaan
  • Pendidikan
Gue menepuk pundak. Eh menepuk jidat.
Hey! gue pan belum kerja. jadi poin ke dua nggak bisa dipilih. Poin ketiga adalah pendidikan. Yah sudahlah cukup tadi gue keringetan saat speaking. Nggak mau tempat ini jadi banjir hanya karena gue ngomentarin pendidikan Indonesia.

Baiklah. Nampaknya gue harus menulis tentang cinta. Rela tidak rela gue harus membocorkan kisah cinta gue di selembar kertas ukuran A4 ini. Huuuh.

Sambil senyam-senyum najis gue mulai menulis. Di bagian awal gue menceritakan tentang diri sendiri, dilanjutkan sampai pada “kisah akhir dari sebuah hubungan.” Lumayan. Semoga kisah haru yang gue tulis bisa jadi semacam golden ticket untuk diterima di kelas english writing. Muehehehe. Akusihyes!

Placement tes pun berakhir. Sebelum pulang gue ngobrol bersama kakak pengajar disana. Ia bercerita tentang semasa dulu tinggal di Amerika sampai lulus dan lanjut kuliah di Indonesia.

Gue pasrah dengan hari itu. Termasuk pasrah karena sama sekali tidak bisa membuka google translate yang padahal udah gue download lengkap bahasa Indonesia dan Inggris versi offlinenya. huuh. Sia-sia berkorban kuota data internet. Hm..

Beberapa hari kemudian gue mendapat informasi pembukaan Les Bahasa Inggris di LPBB LIA Depok. Asik nih, lumayan deket dari rumah. Gue pun mendaftakan diri di kelas conversation.

Placement tes di LIA diadakan 3 hari setelah pendaftaran. Tapi kali ini gak banyak sesi. Kami hanya diminta menjawab 50 soal di lembar kertas. Well, “kata hanya” pun mengantarkan gue ke kelas conversation level 1. Sungguh level yang benar-benar gue banget.

Ohiya, seminggu setelah Placement tes di LIA, gue mendapat email dari Depok Lingua. Alhamdulillah gue diterima dan masuk kelas level intermediate speaking dan intermediate writing. Sungguh kebanggaan buat gue yang baru pertama kali ikut kelas bahasa macam begini.

Hari Ahad pun gue datang untuk daftar ulang dan langsung membayar dua kelas selama 6 bulan (satu term) belajar di Depok Lingua. Okesip gue mulai melihat cahaya dalam gelapnya bayang-bayang masa depan ini.

***
Singkat cerita, di bulan yang sama gue mendapat dua kabar yang tak pernah gue duga sebelumnya. Pertama, di organisasi Sahabat Beasiswa, gue terpilih dan diamanahkan menjadi koordinator (Ketua Umum) wilayah Kota Depok. Kedua, gue terpilih menjadi kepala Departemen Penelitian dan Pengembangan (LITBANG) di Organisasi Himpunan Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Bakrie.

Beginilah hidup. Begitu banyak kejutan dari Tuhan yang kadang tak pernah terpikirkan sama sekali. Kesibukan di organisasi yang gue ikuti ditambah kehidupan perkuliahan di kampus memaksa gue untuk merelakan berbagai kelas bahasa yang gue ikuti. Gue memutuskan untuk keluar dari semua kelas bahasa yang sebelumnya gue perjuangkan. Demi amanah di organisasi, walaupun gue belum bisa menjadi orang hebat dan pantas diposisi ini, tapi gue banyak belajar. Dan bagi gue, belajar pun butuh fokus.

Let’s say, semakin kesini, gue semakin sadar ternyata bahasa bukan cuma soal Inggris, Turki, atau prancis. Mari kita mengutip arti bahasa menurut D.P. Tambulan. Menurutnya, Bahasa ialah suatu cara guna memahami pikiran dan perasaan manusia serta untuk menyatakan isi dari pikiran dan perasaan tersebut.

Dari sini kita sepakat bahwa bahasa bukan hanya tentang S-P-O-K, bukan juga hanya tentang past tense atau present tense. Bahasa adalah kehidupan. Gue, sebagai seorang pemerhati sosial, beruntung bisa merasakan dan menyadari fenomena ini. Gue jadi semakin menikmati setiap interaksi dengan orang dari berbagai kalangan.


Di Organisasi yang gue ikuti gue bertemu banyak orang dengan budaya yang mereka bawa masing-masing. Disitu gue belajar untuk memahami mereka. Memahami komunikasi yang mereka sampaikan lewat berbagai kata dan perilakunya. Itulah menurut gue belajar bahasa. Bahasa yang sesungguhnya dimana gue memahami pikiran dan perasaan serta menyatakan isi dari pikiran dan perasaan. Persis seperti arti bahasa menurut D.P Tambulan.

So, ternyata inilah cara unik Tuhan mengajarkan gue arti sebenarnya sebuah bahasa. Belajar bahasa lewat organisasi. Bahkan bukan cuma bahasa, gue juga belajar mengemban amanah dan tanggung jawab. ya! Tuhan benar-benar mengetahui apa yang kita butuhkan.

Minggu, Desember 23, 2018

Bahagia dengan Gaya Hidup Minimalis

Dunia hari ini tidak terlepas dari kebiasaan hidup boros dan konsumtif. Hal tersebut dilakukan demi eksistensi diri. Banyak orang berlomba-lomba terlihat bahagia, padahal apa yang mereka sangka bahagia tidaklah membahagiakan. 

Kalimat di atas merupakan kutipan dari artikel blog ini yang berjudul 4 kunci Membangun Karakter Milenial. Sampai detik ini gue masih setuju dengan pernyataan tersebut. 

Perkembangan Teknologi, Informasi dan Komunikasi telah mempengaruhi gaya hidup kita. Walaupun sebenarnya membantu kehidupan, kemudahan yang ditawarkan sering membuat kita “kebablasan”. Tanpa disadari, kita memiliki banyak barang yang sesungguhnya tidak dibutuhkan. 

Belanja memanglah penting. Selain merupakan aktivitas untuk memenuhi kebutuhan, belanja mampu memberikan kepuasan dan kebahagiaan. Hanya saja itu bersifat sementara. Jika tidak segera disadari, aktivitas belanja bisa membuat kita terjebak dalam kehidupan lingkaran konsumerisme. 

Seperti yang dilansir idntimes September lalu, Ada sebuah penelitian menarik dari Chaplin dan John tentang perilaku konsumtif masyarakat. Dilansir dari laman theminimalist, ternyata semakin seseorang terobesesi pada hal-hal yang bersifat materi, menunjukkan bahwa ia memiliki “self-esteem” yang rendah. Tak ayal, beberapa tahun ini banyak yang meninggalkan gaya hidup konsumtif dan beralih pada gaya hidup “minimalis”. 

Gaya hidup minimalis ? 

Konsep dari gaya hidup minimalis adalah “less is more” yang akan membantu kita menemukan kebebasan dan kedamaian hidup.


Gaya hidup minimalis adalah pilihan. Kamu bisa kapan saja memulai gaya hidup ini dengan tanpa paksaan. 

Para minimalist memiliki satu pegangan yang sama yakni:

Terbebas dari material merupakan jalan untuk menikmati hidup dan menemukan kedamaian ditengah kehidupan modern saat ini.

Selasa, Desember 18, 2018

4 kunci Membangun Karakter Milenial

Penduduk Indonesia kini didominasi oleh generasi milenial. Sejalan dengan itu, akhir-akhir ini generasi milenial banyak diperbincangkan. Mereka memiliki gaya hidup dan kebiasaan yang tentu berbeda dengan generasi sebelumnya. Mereka unik dan penuh warna.


Generasi Y atau biasa disebut generasi Milenial adalah generasi yang lahir di antara tahun 1980an hingga 2000an. Dengan kata lain, saat ini usia mereka berada di pertengahan 20 tahun dan 30 tahun. Menurut Baappenas pada 2018, jumlah generasi milenial di Indonesia mencapai 90 juta orang.

Generasi milenial akan memegang kendali peradaban dunia menggantikan generasi baby boomers selanjutnya. Oleh karena itu, pembentukan karakter diperlukan untuk menguatkan generasi ini dalam menghadapi era yang merambah industri 4.0.

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Muhadjir Effendy mengatakan, "untuk mempersiapkan generasi milenial menghadapi tantangan ke depan, yang terpenting adalah menata karakter. Selain itu, diperlukan juga memberi kemampuan adaptasi serta memiliki pondasi yang kuat sehingga setiap mengalami perubahan tidak akan kehilangan arah."

Well, Berikut 4 kunci membangun karakter milenial. 

1. Tentukan Tujuan
Source: Amariferha's Blog
Agar hidup bahagia, Kita perlu menentukan tujuan dan arah kehidupan. Hal ini lah yang membedakan kita dengan mahkluk lain. Jika kita tidak merancang tujuan, maka kita akan hidup seperti kapal tanpa nahkoda.

Kapal tanpa ada nahkoda akan berakhir dengan kapal yang terdampar di sebuah tempat terasing atau kemungkinan terburuknya adalah kapal akan tenggelam ke dasar laut.

Maka tentukanlah tujuan (goals) kehidupan. Ada banyak prinsip dalam menentukan tujuan. Mulailah dari hal yang sederhana. Kamu bisa merancangnya dengan hal yang spesifik dan yakin bahwa kamu bisa melaksanakannya.

2. Maksimalkan Teknologi

Source: Medhyhidayat.com
Generasi milenial adalah mereka yang lahir saat teknologi sudah menjamur dan mengalami kemajuan. Hampir tidak mungkin bagi kita untuk gagap atau anti terhadap teknologi.

Sebagai generasi milenial, kamu harus mampu menggunakan teknologi dengan bijak. Kamu harus mengembangkan sikap kreatif dan inovatif yang dapat ditunjang berkat teknologi termutakhir saat ini.

Pelajarilah banyak hal baru karena teknologi berkembang setiap detiknya.

3. Hemat
Source: membuat.info
Dunia hari ini tidak terlepas dari kebiasaan hidup boros dan konsumtif. Hal tersebut dilakukan demi eksistensi diri. Banyak orang berlomba-lomba terlihat bahagia, padahal apa yang mereka sangka bahagia tidaklah membahagiakan.

Mulai saat ini, cobalah untuk mengubah mindset kita ke arah yang lebih produktif. Belajarlah untuk mengatur keuangan. Menabung adalah hal yang lebih baik untuk dilakukan.

Jangan pernah menyia-nyiakan masa muda apalagi hanya untuk mengejar hal yang sebetulnya tidak kita butuhkan. Pertimbangkanlah banyak hal ketika ingin membeli barang. Pelajari juga prinsip dasar keuangan agar kamu paham kebutuhan mana yang layak untuk diperjuangkan.

Dengan mengatur keuangan, kamu dapat mempersiapkan masa depan yang lebih baik.

4. Hidup bersosial
Source: Inspiratifnews.com
Menurut Paul Ernest, Hidup bersosial adalah sebuah kehidupan dimana ada interaksi antara manusia yang satu dengan yang lainnya. Pengertian sosial sendiri adalah sejumlah manusia secara individu yang terlibat dalam berbagai kegiatan bersama.

Pada dasarnya manusia tidak bisa hidup Sendiri. Kita hidup dengan berinteraksi.
We cannot not communicate.

Hidup di era digital adalah hidup dalam dunia maya. Kita dipermudah untuk melakukan komunikasi lewat jejaring sosial. Kapan pun dan dimana pun kita bisa berinteraksi dengan mudah bahkan hanya dengan handphone yang tersambung koneksi internet. Namun hal tersebut jangan sampai membuat kita acuh terhadap kehidupan nyata.

Kita perlu menyapa dan memberikan senyuman kepada orang lain. Hindari menjadi orang yang sibuk dengan gadget saat berada dalam kelompok atau suatu perkumpulan. Perlu diingat juga bahwa kamu harus punya batasan dalam hidup bersosial. Peganglah prinsipmu kemanapun kamu pergi.

Generasi milenial akan memegang kendali peradaban dunia. Kita mesti pandai bersyukur, belajar, dan berdoa. Semoga 4 kunci membangun karakter ini bisa bermanfaat dan mengubah hidupmu.


Salam Salam! 



Rabu, Oktober 03, 2018

Hidup Susah? Ayo Sini cerita..

Oktober 3, 2018
Terlihat para security gagah berdiri dengan rompi hijaunya, sedang petugas kebersihan tengah sibuk menyapu lantai. Lautan manusia berhamburan dari satu rangkaian kereta ke rangkaian lain. Riuh terdengar jeritan suara anak tangga yang menanggung beban kaki-kaki pemburu waktu. Berebut bising dengan suara kereta api yang lewat silih berganti mengalahkan suara kicauan burung di atap-atap stasiun Manggarai. 

 

Pagi ini seharusnya gue ada di kelas. Mendengar "ocehan" dosen sambil menggambar sketsa atau asal-asal coret di buku catatan. Ah sudahlah. Gue baru inget bahwa hari ini nggak ada kelas. Lha mbok ingetnya pas udah di dalam kereta. Kentang parah.

Hari ini gue bebas karena nggak ada kelas. Kebetulan juga tidak ada rapat, tapi suasana pagi di Stasiun seakan berbisik lembut, "jangan pergi dulu."

Gue sedang menyaksikan dunia dengan sudut pandang yang berbeda. Kerumunan yang terlihat sekarang adalah gue di setiap pagi. Dasar rutinitas. Apakah hidup selalu seperti ini?

Mereka yang lari, gue yang ngos-ngosan. #yyhhaa

Manusia modern tidak mencari ilmu dari Tuhan dan agama, melainkan dari kehendak egonya sendiri. Manusia modern lebih memilih hidup diantara enak dan tidak enak, bukan diantara baik atau buruk. Diantara sedap dan tidak sedap, bukan diantara benar atau salah, diantara megah dan tidak megah, bukan diantara mulia dan hina. Itu disebabkan oleh keenakan, kesedapan, dan kemegahan cukup dipedomankan pada kehendak perasaan, sedangkan kebenaran, kebaikan, dan kemuliaan harus didapat dengan mencari ilmu dari agama-agama.
Diujungnya, mereka terjebak bahwa ternyata apa yang mereka sangka cinta bukanlah cinta. Apa yang mereka sangka kebahagiaan, tidaklah membahagiakan. 

Itu adalah kutipan dari buku karangan Emha Ainun Nadjib berjudul Sedang Tuhan pun Cemburu. Sebenarnya gue lagi asik membaca buku itu. Yap, gue selalu menyempatkan diri untuk membaca buku setiap ada waktu luang. Sebab..
Sebaik-baik teman duduk adalah buku.
Semua buku karangan Emha Ainun Nadjib selalu unik dan menarik untuk dibaca. Saat tengah membaca buku karangannya, Gue bahkan udah menyelesaikan buku Bercermin Lewat Tulisan karya Mathilda AMW Birowo. Itu karena buku karangan Emha Ainun Nadjib emang selalu membuka hati dan menguras pikiran. Butuh waktu yang tidak sebentar hanya untuk meng-hatamkan satu bukunya.

Bukan sekedar teori, Cak Nun membantu kita menggali makna kehidupan lewat tulisannya. Seperti yang dilansir Wikipedia, Muhammad Ainun Nadjib atau biasa dikenal Emha Ainun Nadjib atau Cak Nun adalah seorang tokoh intelektual berkebangsaan Indonesia yang mengusung napas Islami. Bagi gue, dia adalah seorang idola kedua setelah sang ayah.

Sewaktu masih tinggal di Jogja gue sering menghadiri pegajian Cak Nun  yang diselenggarakan di rumahnya setiap tanggal 17 dan rutin tiap bulan. Biasanya gue hadir di pengajiannya setelah mengaji di asrama pondok. Sekitar pukul 10 Malam gue baru bisa bergabung.  Pengajiannya bernama Mocopat Syafaat yang berlokasi di Tamantirto, Kasihan, Bantul, DIY. Meskipun diadakan di tengah malam, nuansa santai pengajian yang diselingi shalawat dan nyanyian bersama grup musik kyai Kanjeng selalu bikin betah. gue masih sanggup menyimak kajian, padahal gue tau besok paginya harus pergi sekolah.

Di SMA, gue pernah pinjam dua buku karangan Cak Nun milik ayahnya temen gue. Satu buku udah selesai gue baca. Buku lainnya langsung gue balikin lagi. Buku kedua tulisannya belum bisa gue pahami. Sangat memutar otak. Padahal otak gue nggak muter. Ah, mungkin gue aja yang terlalu polos. Hehehe :D

Menurut gue Cak Nun adalah contoh terbaik seorang tokoh yang merakyat.  Dia bisa masuk ke berbagai lapisan masyarakat. Cak Nun juga dikenal sebagai seniman, budayawan, penyair, dan pemikir. Pantas aja, toh hidupnya berawal dari kaki lima hingga sekarang Ia menjadi bintang lima. Gue belajar banyak pahit dan asin kehidupan sejak mengenalnya.

Cak Nun pernah bilang, “masa muda itu kudune nelongso”.

Nelongso dalam bahasa Indonesia berarti: prihatin. Bagi gue, nelongso adalah gaya hidup. Cara mudah untuk menerima kenyataan bahwa kita adalah manusia, bahwa kita adalah makhluk, bahwa kita adalah hamba. Gue salahsatu bagian dari kelas sosial yang menganggap bahwa masa muda adalah masa emas untuk berjuang, nelongso ialah salah satu caranya.

Dengan nelongso gue jadi lebih PD untuk ber-istiqomah pada prinsip “menunda kesenangan”. Menunda kesenangan memotivasi diri gue minimal untuk bisa "menabung". Menabung uang atau ilmu karena gue percaya akan ada kebahagiaan yang lebih besar ketika gue bisa menunda kesenangan.  

Prinsip nelongso juga selaras dengan perkataan Imam Syafii yang telah mendorong gue untuk keluar dari zona nyaman selama ini.

 Berlelah-lelahlah, manisnya hidup terasa setelah lelah berjuang.

Itulah motivasi pertama sehingga gue pernah tinggal di Depok, Banten, dan juga di Yogyakarta. Masa muda emang harus capek dan nelongso telah melekat dalam hidup gue.

Sekarang jarum jam menunjuk pukul 8.02 WIB. Commuter line pun tak henti membawa dan mengangkut manusia-manusia modern.

Oh iya, apakah hidup selalu seperti ini ?

Tiba - tiba ada yang berbisik, "udah, jalanin aja."