Oktober 3, 2018
Terlihat para security gagah berdiri dengan rompi hijaunya,
sedang petugas kebersihan tengah sibuk menyapu lantai. Lautan manusia
berhamburan dari satu rangkaian kereta ke rangkaian lain. Riuh terdengar
jeritan suara anak tangga yang menanggung beban kaki-kaki pemburu waktu.
Berebut bising dengan suara kereta api yang lewat silih berganti mengalahkan
suara kicauan burung di atap-atap stasiun Manggarai.
Pagi ini seharusnya gue ada di kelas.
Mendengar "ocehan" dosen sambil menggambar sketsa atau asal-asal
coret di buku catatan. Ah sudahlah. Gue baru inget bahwa hari ini nggak ada
kelas. Lha mbok ingetnya pas udah di dalam kereta. Kentang parah.
Hari ini gue bebas karena nggak ada kelas.
Kebetulan juga tidak ada rapat, tapi suasana pagi di Stasiun seakan berbisik
lembut, "jangan pergi dulu."
Gue sedang menyaksikan dunia dengan sudut pandang yang berbeda. Kerumunan yang terlihat sekarang adalah gue di setiap pagi. Dasar rutinitas. Apakah hidup selalu seperti ini?
Mereka yang lari, gue yang ngos-ngosan.
#yyhhaa
Manusia modern tidak mencari ilmu dari Tuhan dan agama,
melainkan dari kehendak egonya sendiri. Manusia modern lebih memilih hidup
diantara enak dan tidak enak, bukan diantara baik atau buruk. Diantara sedap
dan tidak sedap, bukan diantara benar atau salah, diantara megah dan tidak
megah, bukan diantara mulia dan hina. Itu disebabkan oleh keenakan, kesedapan,
dan kemegahan cukup dipedomankan pada kehendak perasaan, sedangkan kebenaran,
kebaikan, dan kemuliaan harus didapat dengan mencari ilmu dari agama-agama.
Diujungnya, mereka terjebak bahwa ternyata apa yang mereka
sangka cinta bukanlah cinta. Apa yang mereka sangka kebahagiaan, tidaklah
membahagiakan.
Itu adalah kutipan dari buku karangan Emha
Ainun Nadjib berjudul Sedang Tuhan pun Cemburu. Sebenarnya gue
lagi asik membaca buku itu. Yap, gue selalu menyempatkan diri untuk
membaca buku setiap ada waktu luang. Sebab..
Sebaik-baik teman duduk adalah buku.
Semua buku karangan Emha Ainun Nadjib
selalu unik dan menarik untuk dibaca. Saat tengah membaca buku karangannya, Gue
bahkan udah menyelesaikan buku Bercermin Lewat Tulisan karya Mathilda AMW
Birowo. Itu karena buku karangan Emha Ainun Nadjib emang selalu membuka hati
dan menguras pikiran. Butuh waktu yang tidak sebentar hanya untuk meng-hatamkan
satu bukunya.
Bukan sekedar teori, Cak Nun membantu kita
menggali makna kehidupan lewat tulisannya. Seperti yang dilansir Wikipedia,
Muhammad Ainun Nadjib atau biasa dikenal Emha Ainun Nadjib atau Cak Nun adalah
seorang tokoh intelektual berkebangsaan Indonesia yang mengusung napas Islami.
Bagi gue, dia adalah seorang idola kedua setelah sang ayah.
Sewaktu masih tinggal di Jogja gue sering
menghadiri pegajian Cak Nun yang diselenggarakan di rumahnya setiap
tanggal 17 dan rutin tiap bulan. Biasanya gue hadir di pengajiannya setelah
mengaji di asrama pondok. Sekitar pukul 10 Malam gue baru bisa bergabung.
Pengajiannya bernama Mocopat Syafaat yang berlokasi di Tamantirto,
Kasihan, Bantul, DIY. Meskipun diadakan di tengah malam, nuansa santai
pengajian yang diselingi shalawat dan nyanyian bersama grup musik kyai
Kanjeng selalu bikin betah. gue masih sanggup menyimak kajian, padahal gue
tau besok paginya harus pergi sekolah.
Di SMA, gue pernah pinjam dua buku karangan
Cak Nun milik ayahnya temen gue. Satu buku udah selesai gue baca. Buku lainnya
langsung gue balikin lagi. Buku kedua tulisannya belum bisa gue pahami. Sangat
memutar otak. Padahal otak gue nggak muter. Ah, mungkin gue aja yang
terlalu polos. Hehehe :D
Menurut gue Cak Nun adalah contoh terbaik
seorang tokoh yang merakyat. Dia bisa masuk ke berbagai lapisan
masyarakat. Cak Nun juga dikenal sebagai seniman, budayawan, penyair, dan
pemikir. Pantas aja, toh hidupnya berawal dari kaki lima hingga sekarang Ia
menjadi bintang lima. Gue belajar banyak pahit dan asin kehidupan sejak
mengenalnya.
Cak Nun pernah
bilang, “masa muda itu kudune nelongso”.
Nelongso dalam bahasa Indonesia berarti: prihatin. Bagi gue,
nelongso adalah gaya hidup. Cara mudah untuk menerima kenyataan bahwa kita
adalah manusia, bahwa kita adalah makhluk, bahwa kita adalah hamba. Gue
salahsatu bagian dari kelas sosial yang menganggap bahwa masa muda adalah masa
emas untuk berjuang, nelongso ialah salah satu caranya.
Dengan nelongso gue jadi lebih PD untuk
ber-istiqomah pada prinsip “menunda kesenangan”. Menunda kesenangan memotivasi
diri gue minimal untuk bisa "menabung". Menabung uang atau ilmu
karena gue percaya akan ada kebahagiaan yang lebih besar ketika gue bisa
menunda kesenangan.
Prinsip nelongso juga selaras dengan
perkataan Imam Syafii yang telah mendorong gue untuk keluar dari zona nyaman
selama ini.
Berlelah-lelahlah, manisnya hidup terasa setelah lelah berjuang.
Itulah motivasi pertama sehingga gue pernah
tinggal di Depok, Banten, dan juga di Yogyakarta. Masa muda emang harus capek
dan nelongso telah melekat dalam hidup gue.
Sekarang jarum jam menunjuk pukul 8.02
WIB. Commuter line pun tak henti membawa dan mengangkut manusia-manusia
modern.
Oh iya, apakah
hidup selalu seperti ini ?
Tiba - tiba ada yang berbisik, "udah, jalanin aja."