Gue kadang punya sebutan untuk suatu hal. Misalnya untuk tahun 2017 ini yang gue sebut sebagai tahun santuy. Tahun Santuy adalah tahun dimana gue harus bebas mengekspresikan diri.
Bagian diatas adalah kutipan artikel berjudul
Cita-cita Agung Mardiyanto. Disana gue menceritakan bagaimana gue membentuk 2017 menjadi tahun yang santuy. Ok, itu tahun lalu, sekarang gue mau cerita nih bagaimana gue menargetkan 2018 menjadi “tahun bahasa”.
Tahun 2018 gue labeli “tahun bahasa”. Harapannya adalah kemampuan berbahasa gue akan meningkat, khususnya bahasa Inggris. Maka mulai lah gue mengatur strategi. Sampai saatnya tiba dalam masa pencarian dan kepo sana-sini mencari info pendaftaran kelas bahasa Inggris.
Pertama, gue mendaftarkan diri ke komunitas bahasa: Depok lingua. Gak tanggung-tanggung gue langsung mendaftar di dua kelas, yaitu kelas english writing dan speaking.
Di pagi hari yang cerah berlatarkan sebuah danau yang luas, gue bergabung dengan para pendaftar Depok Lingua. Mereka datang dengan berbagai tujuan dan alasan.
Angin berhembus pelan mengusap wajah, Gue mulai menyapa orang terdekat.
“mau belajar bahasa prancis. Suka aja,” katanya.
Mulai bergeser, seseorang memperkenalkan diri. Lalu gue menceritakan singkat tentang Depok Lingua dan pengalaman gue yang sebelumnya pernah mengikuti kelas di komunitas ini.
Dulu gue pernah ikut kelas Bahasa Turki selama 6 bulan di Depok Lingua. Kemudian lulus mendapat grade A.
yaa.. sombong dikit lah *kipasan pake sertifikat.
Dengan diiringi kicau burung di atap gedung Art and Culture UI, pagi ini gue akan menjalani serangkaian placement test. Placement test adalah tes penempatan kelas sesuai kemampuan. Gue sangat percaya diri. Dengan berbekal keyakinan dan aplikasi google translate yang semalam baru diinstall. Gue yakin rangkaian test ini bakal gampang dikerjain.
Placement test pertama adalah kelas english speaking. Dari awal pertemuan bersama Ka Dini, gue langsung diajak ngobrol berbahasa Inggris. Tes ini dimulai sejak Ka Dini meminta opini gue tentang beberapa tema yang ia sodorkan begitu saja di ponselnya.
Gue memilih tema tentang pendidikan di Indonesia. Tau lah kenapa? Yap, karena bagi gue tema pendidikan selalu menarik untuk dibahas dan dikritisi.
Gue mulai show off. Percaya diri (PD) aja untuk menjelaskan keadaan pendidikan di Indonesia saat ini. Gue menjelaskannya dengan membungkus pengalaman pribadi yang pait-pait juga sih. Muehehee.
Begitu asik mengomentari keadaan pendidikan Indonesia ngebuat lama kelamaan kosakata di kepala habis. Gue ngomong sambil nginget dan menerawang beberapa kata dan mencari topik.
Gue melanjutkan opini. Masih dengan patah-patah dan kata “eee....” yang berkali-kali terucap.
Dari raut wajahnya, sepertinya Ka Dini mulai menangkap gelagat gue.
“NAHLOH, lulus nggak ya?!” batin gue dalam hati.
Burung-burung yang tadinya berkicau, sekarang udah nggak ada. Angin yang tadi berhembus pelan udah kalah sama terik mentari yang sekarang justru menusuk tulang sampai ke DNA.
“LULUS GAK YAKK?” Hati gue mulai menjerit gaduh.
Ka Dini yang sedari tadi nyimak, mulai terlihat iba melihat orang di hadapannya panik bak seorang anak kampus terciduk maling ayam. Maka jadilah ayam kampus. *lahkok?
Well, setelah beberapa menit berlangsung akhirnya selesai juga obrolan ngalor ngidul spiking english ini.
Ka Dini pun menghela nafas.
Garis di dahinya yang selama ini semakin mengerut ketika mendengarkan gue berbicara, sekarang sudah kembali normal.
Gue lega..
Ka Dini lebih lega.
***
Placement test ternyata tidak sesuai harapan. Bukannya berjalan mulus justru malah memalukan. Sekarang gue jadi pengen uninstall googletranlate di HP. Sia-sia juga, gak dipake. Rugi kuota data internet. Damn.
Tidak lama setelah gue nge-lap muka, acara selanjutnya adalah mengikuti placement test kelas english writing. Gue disodorkan kertas A4 dua lembar. Disitu gue harus menuliskan jawaban atas pertanyaan yang sudah disediakan. Ah! Padahal gue lebih seneng menggambar.
Gue berasa sedang ujian beneran. Ini-TOEFL-versi-essay-BANGET. Beruntung kali ini agak leluasa. Sebab gue nggak sendirian. Disini ada banyak pendaftar yang juga sedang menulis jawabannya di kertas masing-masing.
Kejadian barusan saat speaking bersama Ka Dini mengingatkan gue tentang satu hal. Bahwa gue nggak boleh nyontek. Percuma juga gak bisa buka googletranslate!
Alhasil di tahap ini gue mulai meningkatkan kembali rasa percaya diri yang sempat hilang karena azab mengomentari pendidikan Indonesia tadi.
Diatas selembar kertas ini gue mulai menjawab soal. Coba menghirup udara segar lalu dihembuskan perlahan. Diulang-ulang sampai orang disekitar ngeliatin gue. Etdah cuma hirup udara aja pada ngeliatin. Emang sebegitu anehnya gue hahh.
Ketika jantung berdetak kembali normal.. Eits! mendadak gue merasakan sesak di dada saat tiba di pertanyaan terakhir. Di pertanyaan terakhir, gue diminta menuliskan tentang pengalaman diri dan (pilih):
- Cinta
- Pekerjaan
- Pendidikan
Gue menepuk pundak. Eh menepuk jidat.
Hey! gue pan belum kerja. jadi poin ke dua nggak bisa dipilih. Poin ketiga adalah pendidikan. Yah sudahlah cukup tadi gue keringetan saat speaking. Nggak mau tempat ini jadi banjir hanya karena gue ngomentarin pendidikan Indonesia.
Baiklah. Nampaknya gue harus menulis tentang cinta. Rela tidak rela gue harus membocorkan kisah cinta gue di selembar kertas ukuran A4 ini. Huuuh.
Sambil senyam-senyum najis gue mulai menulis. Di bagian awal gue menceritakan tentang diri sendiri, dilanjutkan sampai pada “kisah akhir dari sebuah hubungan.” Lumayan. Semoga kisah haru yang gue tulis bisa jadi semacam golden ticket untuk diterima di kelas english writing. Muehehehe. Akusihyes!
Placement tes pun berakhir. Sebelum pulang gue ngobrol bersama kakak pengajar disana. Ia bercerita tentang semasa dulu tinggal di Amerika sampai lulus dan lanjut kuliah di Indonesia.
Gue pasrah dengan hari itu. Termasuk pasrah karena sama sekali tidak bisa membuka google translate yang padahal udah gue download lengkap bahasa Indonesia dan Inggris versi offlinenya. huuh. Sia-sia berkorban kuota data internet. Hm..
Beberapa hari kemudian gue mendapat informasi pembukaan Les Bahasa Inggris di LPBB LIA Depok. Asik nih, lumayan deket dari rumah. Gue pun mendaftakan diri di kelas conversation.
Placement tes di LIA diadakan 3 hari setelah pendaftaran. Tapi kali ini gak banyak sesi. Kami hanya diminta menjawab 50 soal di lembar kertas. Well, “kata hanya” pun mengantarkan gue ke kelas conversation level 1. Sungguh level yang benar-benar gue banget.
Ohiya, seminggu setelah Placement tes di LIA, gue mendapat email dari Depok Lingua. Alhamdulillah gue diterima dan masuk kelas level intermediate speaking dan intermediate writing. Sungguh kebanggaan buat gue yang baru pertama kali ikut kelas bahasa macam begini.
Hari Ahad pun gue datang untuk daftar ulang dan langsung membayar dua kelas selama 6 bulan (satu term) belajar di Depok Lingua. Okesip gue mulai melihat cahaya dalam gelapnya bayang-bayang masa depan ini.
***
Singkat cerita, di bulan yang sama gue mendapat dua kabar yang tak pernah gue duga sebelumnya. Pertama, di organisasi Sahabat Beasiswa, gue terpilih dan diamanahkan menjadi koordinator (Ketua Umum) wilayah Kota Depok. Kedua, gue terpilih menjadi kepala Departemen Penelitian dan Pengembangan (LITBANG) di Organisasi Himpunan Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Bakrie.
Beginilah hidup. Begitu banyak kejutan dari Tuhan yang kadang tak pernah terpikirkan sama sekali. Kesibukan di organisasi yang gue ikuti ditambah kehidupan perkuliahan di kampus memaksa gue untuk merelakan berbagai kelas bahasa yang gue ikuti. Gue memutuskan untuk keluar dari semua kelas bahasa yang sebelumnya gue perjuangkan. Demi amanah di organisasi, walaupun gue belum bisa menjadi orang hebat dan pantas diposisi ini, tapi gue banyak belajar. Dan bagi gue, belajar pun butuh fokus.
Let’s say, semakin kesini, gue semakin sadar ternyata bahasa bukan cuma soal Inggris, Turki, atau prancis. Mari kita mengutip arti bahasa menurut D.P. Tambulan. Menurutnya, Bahasa ialah suatu cara guna memahami pikiran dan perasaan manusia serta untuk menyatakan isi dari pikiran dan perasaan tersebut.
Dari sini kita sepakat bahwa bahasa bukan hanya tentang S-P-O-K, bukan juga hanya tentang past tense atau present tense. Bahasa adalah kehidupan. Gue, sebagai seorang pemerhati sosial, beruntung bisa merasakan dan menyadari fenomena ini. Gue jadi semakin menikmati setiap interaksi dengan orang dari berbagai kalangan.
Di Organisasi yang gue ikuti gue bertemu banyak orang dengan budaya yang mereka bawa masing-masing. Disitu gue belajar untuk memahami mereka. Memahami komunikasi yang mereka sampaikan lewat berbagai kata dan perilakunya. Itulah menurut gue belajar bahasa. Bahasa yang sesungguhnya dimana gue memahami pikiran dan perasaan serta menyatakan isi dari pikiran dan perasaan. Persis seperti arti bahasa menurut D.P Tambulan.
So, ternyata inilah cara unik Tuhan mengajarkan gue arti sebenarnya sebuah bahasa. Belajar bahasa lewat organisasi. Bahkan bukan cuma bahasa, gue juga belajar mengemban amanah dan tanggung jawab. ya! Tuhan benar-benar mengetahui apa yang kita butuhkan.