Jumat, Februari 09, 2018

CERPEN: Jam Saku Rini (Bag. 2)

...

Ia terbangun dari tidurnya. Padahal jarum jam baru  menunjuk pukul dua dini hari tapi itulah yang menjadi kebiasaannya. Bersujud menghadap tuhan dan berdoa disaat yang lain larut di alam mimpi. Wanita itu mengerjakan semuanya sendirian. Menjadi ibu rumah tangga dan bekerja banting tulang hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga kecilnya. Beban hidup yang ditanggungnya ini karena suaminya sudah tiada. Meninggalkannya bersama seorang anak. Bahkan tangisan anaknya itu membanjiri lantai rumah tepat tiga tahun yang lalu. Membuat wanita ini ikut larut dalam kesedihan setiap waktu.

“Andai ayah masih ada, pasti tidak akan seperti hari ini. Dunia seperti gelap gulita. Membosankan,” Rini selalu saja bergumam. Namun ia tak lagi jadi seorang penangis sekarang. Itu terjadi sejak Ia bertemu teman masa kecilnya di SMA, satu-satunya teman yang mau mendengarkan kisah pilu keluarganya.

Adzan maghrib sudah berkumandang. Itu pertanda bahwa jam kerja Rini dan Ibunya sudah dimulai. Ibu Dinda sedang duduk, kedua tanganya sibuk merias wajah. Satu tangan memegang alat, tangan lainnya membantu. Sedangkan Rini masih saja bergumam dan berbicara dengan cermin. Jika saja cermin itu hidup, Ia pasti akan menutup kuping mendengarkan keluhan Rini setiap hari. Meski begitu Rini berharap malam ini adalah malam yang indah.

Tak lama berselang, Rini bangkit menyusul langkah ibunya. Tak lupa ia membawa topeng yang setia menemani setiap pertunjukannya. Topeng berwajah ceria, berwarna putih dengan tirus khas yang membentuk wajahnya. Topeng adalah benda wajib yang harus dikenakan Rini agar tidak ada hal buruk yang pernah terjadi.

Malam itu bulan bersinar dengan terangnya. Disana bintang-gemintang yang gemerlapan menghiasi angkasa. Alunan musik dangdut dimainkan, membentuk suatu lukisan yang harmonis. Penonton bertepuk tangan saat musik itu berhenti. Dari sisi kanan panggung, Bu Dinda bersama rekannya maju ke atas panggung dan memberikan salam penghormatan kepada penonton yang rata-rata adalah para  pemuda dan bapak-bapak. Alunan musik mulai kembali terdengar cukup lambat, kini dua orang penari sedang menunjukkan kebolehannya. Semua bergerak mengikuti irama musik. Ketipung berpadu dengan lambaian lembut tangan para penari.

Seorang gadis berkulit putih terbalut kemben menaiki anak tangga, melangkah penuh keyakinan. Lemah gemulai bergerak, tetap anggun meski Ia menari mengenakan topeng. Gerakannya begitu luwes, menari kesana kemari. Mundur, lalu berputar, maju, kemudian sedikit membungkuk, menciptakan gerakan indah penari ulung.

 

Wanita – wanita bersolek memakai kemben diatas panggung. Wajahnya terpoles make up tebal, bibirnya merah merekah, terkecuali sang penari bertopeng. Gemulainya lekuk tubuh mereka  menari.   

Penonton kembali bertepuk tangan disertai dengan sorak-sorai tanda kepuasan. Sampai seorang penonton maju dan naik ke atas panggung, menggoda penari sambil memegang uang di tangan kirinya. Ia kini mendekati Rini, menari bersama mengikuti irama. Hal ini memberikan rasa cemas bagi Rini. Meskipun Rini mendapatkan ruang panggung untuk menari, tapi resah tetap masih miliknya. 

Laki – laki tua bau kencur itu terus mendekati Rini. Tiba – tiba tangannya mulai nakal menyentuh kulit Rini dengan kasar. Ketika tiba-tiba pria tersebut menyentuh topeng yang menyembunyikan wajah cantik Rini, spontan tangan penari itu melayang tepat mendarat di pipi laki laki bau kencur. Semua orang terkejut melihatnya. Namun suara ketipung masih saja bertalu-talu. Tidak menunggu lama Rini pun segera beranjak pergi meninggalkan kerumunan. 

Di belakang pintu kamar Rini menerawang jauh. Mengingat kejadian yang baru saja terjadi. Tak pernah terlintas sedikitpun di pikiran untuk memukul siapapun tapi, laki-laki tadi sangat menyebalkan. Ia sedih dan melamun lama sekali. Menyadari bahwa dunia di sekitarnya lambat laun semakin berubah. Menerima kenyataan bahwa Rini hidup di lingkungan yang tidak mengenal etika dan moral, terlebih lagi mereka selalu merendahkan sosok seorang wanita.  

 

Rini dan sunyi berebut diam. Berhari-hari Rini mengurung diri di kamar, takut laki-laki bau kencur di pertunjukkan kemarin menghampirinya. Sekedar menggoda atau balas dendam. Itupun kalau hanya laki laki bau kencur itu yang datang. Bisa saja semua laki laki di desa datang menghampiri Rini setelah melihat pesona wajah cantiknya malam itu.

Rini mencoba meyakinkan diri bahwa hal yang lebih buruk dari malam itu tidak akan terjadi. Hingga akhirnya Ia memilih untuk pergi. Keputusannya sudah bulat. Dengan berat hati ia meninggalkan rumah tanpa sepengetahuan Ibunda. Ia ingin pergi kemana pun asal bisa merasa aman. Hal terpenting saat ini adalah terus melangkah menuju rumah Aldo. Ia adalah teman dekat Rini sejak masih kecil. Rini menaruh harapan pada Aldo. Ia adalah pria dewasa yang nyaris sempurna. Pria  yang selama ini melindungi Rini dan membagi kisah bersama.

Rini berlari secepat angin. Menutupi dirinya dengan kain dan bersembunyi setiap ada kerumunan, lalu berlari lagi. Rini seperti membenci dunia sekarang. Sudut pandangnya mulai berubah sejak kepergian sang ayah. Ia hanya meninggalkan secuil kertas di atas meja kamarnya, mengaku ingin pergi dari desa sejenak untuk menjauh dari masyarakat desa yang sungguh menyedihkan. Seketika ingatannya kini kembali terbang saat melihat jam saku warisan ayahnya di genggaman tangan. Kepada penunjuk waktu itu Rini selalu menceritakan lika-liku hidupnya seolah ia berbicara langsung dengan ayah. Ia masih berlari. semakin jauh dari desa.

Bersambung...

 Klik DISINI untuk membaca Jam Saku Rini (Bag. 1)


Penjelasan:
karya ini adalah tulisan saya saat masih menjadi pelajar kota Jogja. Cerita ini merupakan tugas menulis cerpen mata pelajaran bahasa Indonesia di SMA. senangnya menemukan file ini kembali. saya sudah merelakan hardisk yang rusak. semoga masih ada lagi sisa-sisa dokumen yang hilang walau entah bagaimana bisa didapat.


Alasan saya posting cerita ini (klik)




source image: @glenr