Ia terbangun dari tidurnya. Padahal jarum jam baru
menunjuk pukul dua dini hari tapi itulah yang menjadi kebiasaannya. Bersujud
menghadap tuhan dan berdoa disaat yang lain larut di alam mimpi. Wanita itu
mengerjakan semuanya sendirian. Menjadi ibu rumah tangga dan bekerja banting
tulang hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga kecilnya. Beban hidup yang
ditanggungnya ini karena suaminya sudah tiada. Meninggalkannya bersama seorang
anak. Bahkan tangisan anaknya itu membanjiri lantai rumah tepat tiga tahun yang
lalu. Membuat wanita ini ikut larut dalam kesedihan setiap waktu.
“Andai ayah masih ada, pasti tidak akan seperti hari ini.
Dunia seperti gelap gulita. Membosankan,” Rini selalu saja bergumam. Namun ia
tak lagi jadi seorang penangis sekarang. Itu terjadi sejak Ia bertemu teman masa kecilnya di
SMA, satu-satunya teman yang mau mendengarkan kisah pilu keluarganya.
Adzan maghrib sudah berkumandang. Itu pertanda bahwa jam kerja
Rini dan Ibunya sudah dimulai. Ibu Dinda sedang duduk, kedua tanganya sibuk
merias wajah. Satu tangan memegang alat, tangan lainnya membantu. Sedangkan
Rini masih saja bergumam dan berbicara dengan cermin. Jika saja cermin itu hidup, Ia pasti akan menutup kuping mendengarkan keluhan Rini setiap hari. Meski begitu Rini
berharap malam ini adalah malam yang indah.
Tak lama berselang, Rini bangkit menyusul langkah ibunya. Tak lupa ia membawa
topeng yang setia menemani setiap pertunjukannya. Topeng berwajah ceria,
berwarna putih dengan tirus khas yang membentuk wajahnya. Topeng adalah benda wajib yang
harus dikenakan Rini agar tidak ada hal buruk yang pernah terjadi.
Malam itu bulan bersinar dengan terangnya. Disana bintang-gemintang
yang gemerlapan menghiasi angkasa. Alunan musik dangdut dimainkan,
membentuk suatu lukisan yang harmonis. Penonton bertepuk tangan saat musik itu
berhenti. Dari sisi kanan panggung, Bu Dinda bersama rekannya maju ke atas
panggung dan memberikan salam penghormatan kepada penonton yang rata-rata
adalah para pemuda dan bapak-bapak. Alunan musik mulai kembali terdengar cukup
lambat, kini dua orang penari sedang menunjukkan kebolehannya. Semua bergerak
mengikuti irama musik. Ketipung berpadu dengan lambaian lembut tangan
para penari.
Seorang gadis berkulit putih terbalut kemben menaiki anak
tangga, melangkah penuh keyakinan. Lemah gemulai bergerak, tetap anggun
meski Ia menari mengenakan topeng. Gerakannya begitu luwes, menari kesana
kemari. Mundur, lalu berputar, maju, kemudian sedikit membungkuk, menciptakan
gerakan indah penari ulung.
Wanita – wanita bersolek memakai kemben diatas panggung.
Wajahnya terpoles make up tebal, bibirnya merah merekah, terkecuali sang penari
bertopeng. Gemulainya lekuk tubuh mereka menari.
Penonton kembali bertepuk tangan disertai dengan sorak-sorai
tanda kepuasan. Sampai seorang penonton maju dan naik ke atas panggung,
menggoda penari sambil memegang uang di tangan kirinya. Ia kini mendekati Rini,
menari bersama mengikuti irama. Hal ini memberikan rasa cemas bagi Rini.
Meskipun Rini mendapatkan ruang panggung untuk menari, tapi resah tetap masih
miliknya.
Laki – laki tua bau kencur itu terus mendekati Rini. Tiba –
tiba tangannya mulai nakal menyentuh kulit Rini dengan kasar. Ketika tiba-tiba
pria tersebut menyentuh topeng yang menyembunyikan wajah cantik Rini, spontan
tangan penari itu melayang tepat mendarat di pipi laki laki bau kencur. Semua
orang terkejut melihatnya. Namun suara ketipung masih saja bertalu-talu. Tidak
menunggu lama Rini pun segera beranjak pergi meninggalkan kerumunan.
Di belakang pintu kamar Rini menerawang jauh. Mengingat
kejadian yang baru saja terjadi. Tak pernah terlintas sedikitpun di pikiran
untuk memukul siapapun tapi, laki-laki tadi sangat menyebalkan. Ia sedih dan
melamun lama sekali. Menyadari bahwa dunia di sekitarnya lambat laun semakin
berubah. Menerima kenyataan bahwa Rini hidup di lingkungan yang tidak mengenal
etika dan moral, terlebih lagi mereka selalu merendahkan sosok seorang
wanita.
Rini dan sunyi berebut diam. Berhari-hari Rini mengurung
diri di kamar, takut laki-laki bau kencur di pertunjukkan kemarin menghampirinya.
Sekedar menggoda atau balas dendam. Itupun kalau hanya laki laki bau kencur itu
yang datang. Bisa saja semua laki laki di desa datang menghampiri Rini setelah
melihat pesona wajah cantiknya malam itu.
Rini mencoba meyakinkan diri bahwa hal yang lebih buruk dari
malam itu tidak akan terjadi. Hingga akhirnya Ia memilih untuk pergi.
Keputusannya sudah bulat. Dengan berat hati ia meninggalkan rumah tanpa
sepengetahuan Ibunda. Ia ingin pergi kemana pun asal bisa merasa aman. Hal
terpenting saat ini adalah terus melangkah menuju rumah Aldo. Ia adalah teman
dekat Rini sejak masih kecil. Rini menaruh harapan pada Aldo. Ia adalah pria
dewasa yang nyaris sempurna. Pria yang selama ini melindungi Rini
dan membagi kisah bersama.
Rini berlari secepat angin. Menutupi dirinya dengan kain dan
bersembunyi setiap ada kerumunan, lalu berlari lagi. Rini seperti membenci
dunia sekarang. Sudut pandangnya mulai berubah sejak kepergian sang ayah. Ia
hanya meninggalkan secuil kertas di atas meja kamarnya, mengaku ingin pergi dari
desa sejenak untuk menjauh dari masyarakat desa yang sungguh menyedihkan.
Seketika ingatannya kini kembali terbang saat melihat jam saku warisan ayahnya
di genggaman tangan. Kepada penunjuk waktu itu Rini selalu menceritakan
lika-liku hidupnya seolah ia berbicara langsung dengan ayah. Ia masih berlari.
semakin jauh dari desa.
source image: @glenr