“Apa-apaan sih anak itu selalu saja memamerkan barang
barunya. Dia pikir aku tidak jengkel? Dasar anak manja,” seru batin
Rini sambil menutup keras jendela kamar yang kemudian membuatnya harus
memejamkan mata sebentar karena terkena debu-debu tipis. Rini memang
selalu iri dengan tetangga di samping rumahnya. Mereka adalah orang kaya yang
mampu membeli semua barang yang mereka inginkan. Tidak seperti Rini, terlahir
sebagai anak dari seorang wanita tua dengan kondisi ekonomi yang kurang. Tapi
Rini tahu bahwa semua ini adalah bagian dari takdir Tuhan. Takdir yang
menurutnya selalu bisa diubah.
Sore ini Rini tidak bersemangat untuk melakukan apapun. Ia
hanya ingin pergi ke suatu tempat yaitu rumah pohon. Rumah pohon di belakang
rumahnya selalu bisa menjadi tempat yang sejuk bagi Rini. Kadang juga menjadi
tempat Rini untuk melepas penat dan lelah menjalani kehidupan di tengah
keributan yang berulang.
Barusan hujan deras turun membasahi desa. Rini melangkah
dengan hati-hati, menginjak batu krikil yang bersih dari tanah berlumpur. Lalu
berhenti sejenak, mengalihkan mata untuk melihat ke arah langit. Ternyata senja
sudah datang. Langit yang tadinya tertutup awan , kini terlihat kemerahan. Rini
duduk di sebuah batu besar, Ia merogoh saku celananya, mengambil jam saku tua
yang masih menkilap, lengkap dengan rantai emas. Sepertinya Rini sangat merawat
jam saku miliknya itu.
Saat itu Rini sekolah paud tidak jauh
dari rumahnya. Ayahnya selalu menjemput Rini tepat waktu. Duduk di satu kursi
sambil menghabiskan sebatang rokok yang terselip di bibirnya. Ketika Rini
melihat ayahnya, ia pasti berlari lalu memeluk ayahnya cepat-cepat. Ayahnya
dengan spontan membuang batang rokok dan merapihkan topi, lalu menerima pelukan
hangat dari buah hatinya. Mereka pulang ke rumah dengan berjalan kaki dan
biasanya Rini senang duduk di pundak ayahnya.
Dalam perjalanan Rini menanyakan banyak
hal, tentang kenapa daun warnanya hijau, kenapa air bisa menghilangkan dahaga,
sampai mereka menertawakan mengapa ada orang gila yang selalu duduk di
persimpangan jalan dekat sekolahnya. Meskipun begitu ayahnya selalu menjawab
pertanyaan Rini dengan sabar dan sedikit bergurau. Tanpa terasa
mereka sudah berada di halaman rumah, mereka sampai lebih cepat dari
biasanya tapi, tidak langsung masuk ke rumah. Ayahnya mengajak Rini naik ke
rumah pohon yang sudah dibangun sejak Rini masih di dalam kandungan ibunya.
Rumah pohon yang sengaja dibuat sang ayah untuk bermain bersama anak-anaknya
nanti.
Rini bercerita panjang tentang tugas
menggambarnya di sekolah dan mendapatkan nilai terbaik diantara teman-temannya.
Sambil mengayun-ayunkan kaki, mereka duduk di tepi rumah pohon. Langit biru sangat
cerah, angin lembut menepis wajah mereka, sejauh mata memandang hanya
pemandangan sawah luas tidak bertepi. Setelah selesai bercerita Rini berpaling
memperhatikan dua burung yang saling berkejaran. Ayahnya menghela nafas,
tersenyum, lalu memberikan sebuah kotak kecil untuk Rini.
“Hayo tebak apa yang ada di dalam kotak ini?” tanya ayah
sambil menggoyangkan kotak.
“Aku tau! Itu pasti boneka!” jawab Rini dengan wajah polos.
“Hahaha, kamu salah. Yang ada di dalam kotak ini adalaaaah..
taraaa! Ini adalah jam saku. Ini ayah berikan agar Rini ingat bahwa dalam hidup
kita punya waktu yang terbatas. Satu detik saja terlewat tidak akan bisa
kembali lagi. Nah maka dari itu gunakan waktu untuk hal yang bermanfaat yaa. Misalnya
menolong orang lain tanpa memandang siapa pun dia. Mulailah dari orang yang ada
di dekat Rini ya! Kamu ingat terus oke?”
“Baik, ayah. Terima kasih yaa. Rini suka jamnyaaa,” Rini
tersenyum lebar, lompat-lompat riang hingga lupa bahwa ia sedang berada di
rumah pohon.
Sekarang semua tinggal kenangan. Rini sudah lulus SMA tahun
lalu. Walaupun sudah menjadi gadis dewasa tapi tetap saja begitu mudah bagi
Rini untuk meneteskan air mata saat mengenang banyak hal tentang ayahnya. Rini
memutuskan untuk mengurungkan niatnya melanjutkan langkah ke rumah pohon.
Hari semakin gelap sekarang.
Bersambung...
source image: rebanas.com