Di postingan sebelumnya di hari
sabtu gue telah menuliskan sedikit cerita yang membuktikan bahwa bahagia
memanglah sederhana. Itu terjadi saat gue pulang kuliah agak sore, kemudian
menemukan lokasi para pedagang kaki lima yang menjajakan makanan di sudut jalan.
Melihat moment itu, gue sempatkan mampir untuk makan malam sambil menikmati
musik yang romantis disana.
Mar
9, 2018
Hari
Jumat di minggu kedua bulan ini lagi-lagi gue pulang kuliah agak sore. Untuk
kalian yang belum pernah ke Jakarta, gue kasih info sedikit disini. Jangan
pernah mondar mandir di Jakarta pada jam-jam orang berangkat ke kantor dan pada
jam orang-orang pulang dari kantornya. Jangan lakukan itu kecuali emang ente
lagi gabut. Tapi itu gabut paling gabut sih kalo mesti mondar mandir Jakarta
juga. Hayoo hahaha.
Nah
dengan kondisi Jakarta yang banjir manusia setiap harinya itu menurut gue ada
keuntungannya juga lho. Kita bisa lebih bersyukur dengan keadaan, waktu, dan
usaha yang sudah dikorbankan seseorang atau diri kita sendiri untuk hari itu.
Entah sekedar hangout demi solidaritas atau ingin bekerja. gue kira mereka
pantas disebut pejuang. #semangatparapencarinafkah.
Dalam kasus gue, keuntungan
lainnya adalah bisa bertemu orang “bule”. Maksud gue adalah bule yang
“merakyat” dengan bersedia untuk naik bus Trans-Jakarta setiap hari (busway
adalah nama tempat, bukan nama jenis angkutan lho ya). Yap, gue sering
bertemu dengan bule merakyat, bukan bule traveler. So kelak semoga gue bisa
ngopi-ngopi bareng mereka di tengah keramaian yang ada.
Kampus
gue berada di segitiga emas Jakarta atau golden triangle Jakarta. Itu
adalah kawasan perkantoran elit yang dikelilingi beragam perusahaan
multinasional, pusat bisnis, dan daerah kedutaan besar. kebetulan kampus gue
dekat dengan kedutaan besar Rusia yang membuat gue sering kali melihat tingkah
unik orang “bule” dari seberang jalan.
Seperti
pada jam-jam sibuk Jakarta biasanya, gue mendapati kemacetan di perjalan.
Saat menaiki bus Trans-Jakarta jurusan Stasiun Manggarai gue hanya bisa
mengelus dada. Kalo udah begini gue rela deh desak-desakan, dihimpit orang
berbadan besar, kaki keinjek, sampai bersebelahan sama orang yang bau ketek.
Please deh.
Tidak
seperti biasanya, Gue memutuskan untuk turun di halte stasiun manggarai (dekat
pasar raya), bukan di stasiun manggarai yang mana pemberhentian terakhir bus
Trans-Jakarta. Alasannya karena macet. Gue sih terima jalan kaki aja. Toh jarak
halte menuju stasiun tidak terlalu jauh. Daripada gue harus menahan bau ketek
di dalam bus. Please deh. Gue masih mau hidup.
Alasan
lain gue turun di halte stasiun manggarai adalah untuk menunaikan ibadah sholat
magrib. Agar sempat maka gue tergopoh-gopoh menaiki anak tangga dan langsung
masuk ke mushola terdekat. Singkat cerita di mushola ini airnya habis. Padahal diriku belum suci...
Gue
turun dari halte dan mampir ke mushola di salah satu gang gak jauh dari halte
busway.
***
Selesai
beribadah gue berdiri dan melangkah menuju tempat gue menaruh sepatu di samping
pintu mushola. Tiba-tiba ramai anak-anak berpakaian muslim berdatangan melewati
mushola. Beberapa dari mereka berhenti lalu terlihat sedang membahas dan
mengulangi kejadian yang baru saja mereka alami. Suasana pecah dengan
tawa.
Sambil
memakai sepatu di serambil Mushola, gue iseng menyapa dan bertanya kepada
mereka. Kebetulan disana hanya tinggal ada 4 orang anak. Mereka adalah Putra,
Nirwana, Anjra, dan Andin.
Kepada
mereka gue juga menanyakan tentang buku yang masing-masing mereka pegang. Ternyata,
itu adalah buku religi tentang latihan menjadi da'i . Disitu gue merasa haru.
Anak-anak dengan pakaian lusuh ini percaya diri.
Nggak
merasa malu saat gue bertanya, “emang semua bisa?”
Mereka
justru menjawab dengan serentak, “biissssaaaa!”
Seorang
anak perempuan beberapa kali mengoreksi kesalahan teman laki-lakinya yang
diikuti oleh teman yang lain. Gue menyaksikan sebentar tapi entah mengapa gue
suka hal ini. Menciptakan euforia gue tentang masa kecil dimana kita selalu
ingin menang, selalu merasa bisa melakukan segalanya meskipun harus
berpura-pura kuat. Sungguh masa kecil yang indah. Okay, tapi disitu gue juga
memposisikan diri selayaknya Agung. Untuk dia yang merasa tersudutkan gue
menepuk pundaknya, sambil bilang, “udah. nggak apa apa ya? Kan- namanya juga
lagi belajar.”
Gue
bangkit dan berkata ke mereka “yaudah semangat ya semua!”
“Iyaaaaa,
Baaaanggg!” Teriak mereka saling tak mau kalah suara.
Gue
beranjak pergi menjauhi mushola. Di belakang, ternyata mereka mengantarkan gue
sampai ujung gang di samping jalan raya. Ketika gue pamit melanjutkan
perjalanan menuju stasiun, mereka malah teriak lagi, “dadah Bang...”
Sebenarnya
sedikit malu sih karena di ujung gang itu kondisinya ramai. Namun karena hal
itu gue jadi mesam mesem sendiri. Ada rasa happy juga simpati.
Well,
Itu lah sedikit cerita yang gue maksud bahwa sendirian itu penting. Gue jadi
semakin peka sama lingkungan, sama hal-hal yang terjadi di sekitar gue. Tanpa
perlu menertawakan segala hal. Gue lebih memilih untuk menikmatinya, terjun
langsung. Merasakan hal lain yang belum pernah gue rasakan. Karena menurut gue
tidak semua kebahagiaan diekspresikan dengan tertawa. Mungkin ada saatnya kita
menanggapinya cukup dengan tersenyum, atau justru dengan menangis.
Dadah...