Minggu, Maret 11, 2018

Tentang Anak-anak Kampung di Tengah Kota

Di postingan sebelumnya di hari sabtu gue telah menuliskan sedikit cerita yang membuktikan bahwa bahagia memanglah sederhana. Itu terjadi saat gue pulang kuliah agak sore, kemudian menemukan lokasi para pedagang kaki lima yang menjajakan makanan di sudut jalan. Melihat moment itu, gue sempatkan mampir untuk makan malam sambil menikmati musik yang romantis disana.


Mar 9, 2018

Hari Jumat di minggu kedua bulan ini lagi-lagi gue pulang kuliah agak sore. Untuk kalian yang belum pernah ke Jakarta, gue kasih info sedikit disini. Jangan pernah mondar mandir di Jakarta pada jam-jam orang berangkat ke kantor dan pada jam orang-orang pulang dari kantornya. Jangan lakukan itu kecuali emang ente lagi gabut. Tapi itu gabut paling gabut sih kalo mesti mondar mandir Jakarta juga. Hayoo hahaha.

Nah dengan kondisi Jakarta yang banjir manusia setiap harinya itu menurut gue ada keuntungannya juga lho. Kita bisa lebih bersyukur dengan keadaan, waktu, dan usaha yang sudah dikorbankan seseorang atau diri kita sendiri untuk hari itu. Entah sekedar hangout demi solidaritas atau ingin bekerja. gue kira mereka pantas disebut pejuang. #semangatparapencarinafkah.

Dalam kasus gue, keuntungan lainnya adalah bisa bertemu orang “bule”. Maksud gue adalah bule yang “merakyat” dengan bersedia untuk naik bus Trans-Jakarta setiap hari (busway adalah nama tempat, bukan nama jenis angkutan lho ya).  Yap, gue sering bertemu dengan bule merakyat, bukan bule traveler. So kelak semoga gue bisa ngopi-ngopi bareng mereka di tengah keramaian yang ada.
Kampus gue berada di segitiga emas Jakarta atau golden triangle Jakarta. Itu adalah kawasan perkantoran elit yang dikelilingi beragam perusahaan multinasional, pusat bisnis, dan daerah kedutaan besar. kebetulan kampus gue dekat dengan kedutaan besar Rusia yang membuat gue sering kali melihat tingkah unik orang “bule” dari seberang jalan.

Seperti pada jam-jam sibuk Jakarta biasanya, gue mendapati kemacetan di perjalan.  Saat menaiki bus Trans-Jakarta jurusan Stasiun Manggarai gue hanya bisa mengelus dada. Kalo udah begini gue rela deh desak-desakan, dihimpit orang berbadan besar, kaki keinjek, sampai bersebelahan sama orang yang bau ketek. Please deh. 
Tidak seperti biasanya, Gue memutuskan untuk turun di halte stasiun manggarai (dekat pasar raya), bukan di stasiun manggarai yang mana pemberhentian terakhir bus Trans-Jakarta. Alasannya karena macet. Gue sih terima jalan kaki aja. Toh jarak halte menuju stasiun tidak terlalu jauh. Daripada gue harus menahan bau ketek di dalam bus. Please deh. Gue masih mau hidup.

Alasan lain gue turun di halte stasiun manggarai adalah untuk menunaikan ibadah sholat magrib. Agar sempat maka gue tergopoh-gopoh menaiki anak tangga dan langsung masuk ke mushola terdekat. Singkat cerita di mushola ini airnya habis. Padahal diriku belum suci...
Gue turun dari halte dan mampir ke mushola di salah satu gang gak jauh dari halte busway.

***

Selesai beribadah gue berdiri dan melangkah menuju tempat gue menaruh sepatu di samping pintu mushola. Tiba-tiba ramai anak-anak berpakaian muslim berdatangan melewati mushola.  Beberapa dari mereka berhenti lalu terlihat sedang membahas dan mengulangi kejadian yang baru saja mereka alami. Suasana pecah  dengan tawa.

Sambil memakai sepatu di serambil Mushola,  gue iseng menyapa dan bertanya kepada mereka. Kebetulan disana hanya tinggal ada 4 orang anak. Mereka adalah Putra, Nirwana, Anjra, dan Andin.

Kepada mereka gue juga menanyakan tentang buku yang masing-masing mereka pegang. Ternyata, itu adalah buku religi tentang latihan menjadi da'i . Disitu gue merasa haru. Anak-anak dengan pakaian lusuh ini percaya diri. 
Nggak merasa malu saat gue bertanya, “emang semua bisa?”
Mereka justru menjawab dengan serentak, “biissssaaaa!”

Seorang anak perempuan beberapa kali mengoreksi kesalahan teman laki-lakinya yang diikuti oleh teman yang lain. Gue menyaksikan sebentar tapi entah mengapa gue suka hal ini. Menciptakan euforia gue tentang masa kecil dimana kita selalu ingin menang, selalu merasa bisa melakukan segalanya meskipun harus berpura-pura kuat. Sungguh masa kecil yang indah. Okay, tapi disitu gue juga memposisikan diri selayaknya Agung. Untuk dia yang merasa tersudutkan gue menepuk pundaknya, sambil bilang, “udah. nggak apa apa ya? Kan- namanya juga lagi belajar.”

Gue bangkit dan berkata ke mereka “yaudah semangat ya semua!”

“Iyaaaaa, Baaaanggg!” Teriak mereka saling tak mau kalah suara.

Gue beranjak pergi menjauhi mushola. Di belakang, ternyata mereka mengantarkan gue sampai ujung gang di samping jalan raya. Ketika gue pamit melanjutkan perjalanan menuju stasiun, mereka malah teriak lagi,  “dadah Bang...”

Sebenarnya sedikit malu sih karena di ujung gang itu kondisinya ramai. Namun karena hal itu gue jadi mesam mesem sendiri. Ada rasa happy juga simpati.  

Well, Itu lah sedikit cerita yang gue maksud bahwa sendirian itu penting. Gue jadi semakin peka sama lingkungan, sama hal-hal yang terjadi di sekitar gue. Tanpa perlu menertawakan segala hal. Gue lebih memilih untuk menikmatinya, terjun langsung. Merasakan hal lain yang belum pernah gue rasakan. Karena menurut gue tidak semua kebahagiaan diekspresikan dengan tertawa. Mungkin ada saatnya kita menanggapinya cukup dengan tersenyum, atau justru dengan menangis. 

Dadah...