Kalo
gue berangkat dari Jakarta tanggal dua, temen-temen justru meninggalkan asrama tanggal dua. Jadilah gue
di asrama sendirian. Beruntung masih ada kakak mahasiswa dan mas senior yang
baik mau nemenin.
Dan
sekarang? Jadwal lebih lenggang, kosong. Mau mandi nggak ngantri, mau nyampah
tidur dimana aja silahkan, mau makan.. *eh puasa. Jadi makin asik, tapi kadang merasa sepi sih.
Untuk kemarin kegiatannya sangat
santai dan nikmat.
Berawal dari bangun sahur, gue
harus keluar asrama buat beli makanan karena semalam lupa ngeliwet nasi. Gue
beli nasi padang dua bungkus untuk kemudian dibawa ke asrama. Tenang gue nggak
rakus, gue makan berdua sama mas juban. Dan yang lain makan diluar.
Habis shalat subuh jadwalnya
tetap sama, ngaji. Tapi sekarang gue sendirian karena anak yang lain nggak ada.
Seperti home schooling, gue berhadapan dengan Pak kiai untuk tadarus quran, dan
lagi lagi nggak antri.
Menjelang pagi gue sibuk mengganti
cover binder dengan memotong buletin sekolah temen, agak parah sih. Selanjutnya gue buka laptop untuk jailbreak
handheld window phone yang gue bawa dari Jakarta agar bisa custom ROM.
Selanjutnya gue ke warnet untuk
download custom ROM. Tapi malah jadinya cuma buka dan upload foto ke twitter. karena
size download dengan kekuatan jaringan inetnya nggak stabil.
Jam setengah sebelas sampai
asrama langsung tepar. Bangun jam setengah dua siang lalu beranjak shalat
dilanjuti dengan tadarus quran.
Kemudian jam setengah lima ke
rumah kiai untuk ngaji sore.
Well, Kadang sendirian itu
penting. Kita jadi tau betapa banyak waktu yang kita punya cuma digunain
sesukanya. Gue pernah baca tulisan di kaos di punggung seorang anak yang bikin
gue sadar, bahwa dalam sehari kita punya waktu yang benar-benar terbatas.
Tulisannya kurang lebih begini:
Bagilah waktu yang hanya 24 jam
menjadi tiga. 8 jam digunakan untuk istirahat dan mimpi, 8 jam digunakan untuk belajar
dan hal hal yang serius serius, 8 jam lagi untuk kreatifitas dan bermain.
Gue ada setujunya juga, karena
selama ini waktu gue lebih dihabiskan untuk bermain aja. Hal-hal yang nggak
penting malah jadi prioritas, dan sebaliknya. Kesendirian juga mengajarkan gue
untuk banyak merenung. Merenung bahwa beginilah masa muda gue, masa bagaimana
gue menjadi manusia yang ‘ada’ kelak. Salah
pijakan kalo nggak dibenahi, akan timbulnya penyesalan.
Karena kesendirian juga gue jadi
merasa sangat ‘muda’ untuk melakukan hal hal gila. Miris kalo lihat generasi
pemuda seusia gue yang amburadul. Dilain banyak diusia muda yang udah sukses seperti:
maddi jane, tapi lebih banyak lagi yang hancur seperti para korban penindasan
kota. Miris.
Now, here I am. Di jogja, di
perantauan. Di asrama, jauh dari orangtua.
Disini gue nggak mau banyak
tingkah, tujuan gue sederhana dari dulu sampai sekarang:
“Bisa berguna bagi orang-orang disekeliling. Sampai ketika gue nggak ada atau menghilang, mereka akan berkata: Agung kemana?”
Udah itu aja, sederhana kan? Nggak
banyak. Kalo ada lebihnya, itu mungkin bonus dari tuhan.
Begitulah gue dengan kesendirian.